ads

gm

Slider[Style1]

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5


Stand Up Comedy
merebak bak jamur akhir-akhir ini di Indonesia. Sebuah jenis
pertunjukan komedi yang mengetengahkan konsep penampilan tunggal oleh
pemain yang dijuluki comic. Pertunjukan Stand up Comedy
pada mulanya berkembang di eropa dan amerika pada abad ke-18 atau 19.
Awalnya pertunjukan ini dipertunjukkan di aula pertunjukan musik. Pada
tahun 1979 di Inggris terbentuk sebuah kelompok Stand up Comedy
gaya amerika pertama yang didirikan oleh Peter Rosengard. Seiring
dengan dibentuknya kelompok ini kemudian mulai bermunculan
kelompok-kelompok Stand up Comedyi sejenis di berbagai penjuru dunia yang kemudian semakin menancapkan eksistensinya.

      Seiring berjalannya waktu komunitas-komunitas dan pertunjukan Stand up Comedy menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Di kawasan asia banyak comic-comic terkenal yang muncul dari seni Stand up Comedy
ini, contohnya Akmal Saleh dari Malaysia, Paul Ogata dari Singapura,
Johny Lever dari India, Dany Cho dari Korea Selatan, serta di Indonesia
baru-baru ini muncul nama-nama seperti Butet Kertaradjasa, Pepeng,
Taufik Savalas, Pandji Pragiwaksono, Raditya Dika, dan lain-lain.


      Comic menampilkan stand up comedy
dengan teknik penyampaian cerita humor atau jokes secara one-liner atau
cerita yang terdiri dari beberapa kalimat, biasanya dua sampai tiga
kalimat singkat yang terdiri dari beberapa premis. Premis ini terdiri
dari Setup dan Punchline. Setup merupakan premis yang merupakan ungkapan
atas situasi yang dapat diterima oleh penonton atau fenomena dari
kebiasaan sehari-hari, sedangkan punchline merupakan bagian yang
menciptakan dampak kelucuan dari premis sebelumnya, dengan cara
mematahkan konsep premis setup sebelumnya dengan premis lain yang
berlawanan atau tidak sejalan dengan premis setup.

Contoh: “I don’t smoke, i don’t drink, i don’t snort, and i don’t a gamble. I do lie a little bit through”

“Im not an actor. But i play one on TV.”


      Contoh pertama “I don’t smoke, i
don’t drink, i don’t snort, and i don’t a gamble.” Kalimat ini merupakan
setup dari premis tersebut. kemudian dipatahkan melalui Punchline “I do
lie a little bit through”. Comic bercerita bahwa ia tidak melakukan di
premis pertama, tetapi di premis kedua ia mengatakan bahwa ia berbohong
atasnya. Dengan dipatahkannya premis pertama di premis kedua maka
muncullah kelucuan.


      Contoh kedua “Im not an actor. But
i play one on TV.” Premis pertama “Im not an actor” masih dapat
diterima penonton , tetapi hal itu kemudian dipatahkan di premis kedua
dengan “But i play one on TV” kalimat ini mengandung kelucuan. Di
kalimat sebelumnya ia mengatakan bahwa ia bukan seorang aktor, tetapi ia
pernah bermain sandiwara sekali di sebuah televisi.Lantas apakah premis
pertama masih bisa dibuktikan kebenarannya? Disanalah letak
kelucuannya.


      Contoh lain dapat kita lihat pada konten humor stand up comedy Ryan Adriandhy, pemenang pertama kompetisi stand up comedy
di salah satu stasiun TV swasta indonesia, pada penampilannya di grand
final kompetisi tersebut.Ia sempat membahas rahasia keapikan konten
humor yang tercipta lewat stand up comedy-nya.
“Gue ga mau fitness karena ga mau mandi bareng cowok-cowok lain……. Gue
takut suka”, begitulah kalimat humor ryan dalam penampilannya. Dalam
kalimat ini “Gue ga mau fitness karena ga mau mandi bareng cowok-cowok
lain” merupakan setup dari premis utama dan “Gue takut suka” merupakan
bagian kelucuannya (punchline). Dalam premis setup humor ini, konteks
kalimat masih dapat diterima penonton karena alasannya masih logis.
Kemudian di premis berikutnya ia mematahkan premis pertama dengan
ungkapan yang menimbulka efek lucu karena ungkapan “gue takut suka” yang
pada dasarnya menyimpang dari kenyataan yang lazim ditemui di
masyarakat.

Humor verbal pada dasarnya merupakan
suatu bentuk permainan kata atau permainan bahasa.Hal ini dapat diteliti
seacara linguistik sebagai salah satu cabang ilmu yang meneliti
fenomena kebahasaan. Linguistik memiliki banyak anak cabang ilmu yang
dari kesemuanya dapat menciptakan suatu bentuk humor verbal jika
penggunaannya tidak pada tempat semestinya.

      Fonologi sebagai ilmu bahasa yang
menyibukkan diri dengan satuan terkecil kebahasaan, yakni bunyi. Satuan
bunyi terkecil yang disebut dengan fonem merupakan bagian yang
menciptakan bunyi-bunyi yang kemudian kita kenal dengan susunan alfabet.
Lewat teori ini bisa muncul humor verbal seperti kesalahan pengucapan
yang sebenarnya juga merupakan wilayah psikolinguistik.


      Morfologi sebagai ilmu yang
menyibukkan diri dengan pembentukan kata juga dapat menjadi bahan humor
verbal. Kesalahan pengucapan kata atau sering dinamakan “keseleo lidat”
atau salah ucap bisa menjadi bahan humor. Seperti kata salah ucap yang
sempat dilakukan oleh salah satu pembaca berita yang ingin mengatakan
“perjumpaan di studio metro TV”, namun terucap olehnya “di studio “metro
mini”". Kata metro mini memiliki makna yang tentu berbeda sekali dengan
metro TV. Lantas hal ini dapat memunculkan kelucuan. Konteks perbedaan
makna tadi sebenarnya merupakan kajian semantik, yakni cabang ilmu
bahasa yang mempelajari tentang makna tanda kebahasaan. Namun wilayah
yang disoroti adalah wilayah kata yang notabene wilayah morfologi.


      Cabang linguistik lain yang juga
berpotensi memunculkan humor verbal adalah Pragmatik, sebuah ilmu yang
mempelajari hubungan suatu tanda kebahasaan didasarkan pada konteks
pemakaian, fungsi dan makna yang ditimbulkan. Pragmatik dan Semantik
masih memiliki ruang lingkup wilayah kajian yang hampir sama, namun
memiliki perbedaan mendasar yang bisa memisahkan jarak kedua ilmu
ini.Geoffrey Leech membedakan kedua bidang ini dengan batasan bahwa
semantik sebagai kajian yang dyadic dan mendefinisikan makna sebagai
satuan ciri-ciri tertentu suatu bahasa dan terpisah dari cara
penggunaannya lewat penutur, petutur, dan konteks, sedangkan pragmatik
sebagai kajian triadic dan membahas makna yang timbul dari suatu tanda
kebahasaan lewat konteks penggunaan bahasa oleh penutur dan petuturnya.


      Contoh materi one-liner diatas
merupakan suatu contoh penerapan konsep pragmatik kebahasaan, dimana
premis-premis yang tersusun menciptakan suatu kesinambungan tetapi makna
yang timbul saling bertentangan dan hal ini hanya dapat dipahami secara
pragmatik. Ketika mendengar premis pertama, pendengar akan memiliki
konsep presuposisi (praduga) yang lazim sesuai dengan kalimat tersebut
serta masih dapat diterima. Namun pada premis yang mengandung punchline
konteks tersebut dibalikkan dan melanggar maksim relevansi serta
presuposisi yang ternyata tidak terbukti benar secara utuh. Nah,
pelanggaran inilah yang kemudian memunculkan kelucuan.


      Fenomena-fenomena yang lazim
terjadi di masyarakat sering kali menjadi bahan para comic untuk suguhan
humornya. Seperti yang dilakukan raditya dika dalam salah satu
kesempatan stand up comedy-nya. Berkut saya berikan transkripsinya:


“Gue paling ga ngerti dengan Sm*sh terus
terang, pertama kali gue ngelihat sm*sh, ada tujuh orang laki-laki, ya
semi laki-laki, dia nyanyi-nyanyi kenapa hatiku cenat-cenut tiap ada
kamu, lo jangan-jangan hepatitis! gitu gue pikir jangan jangan, kenapa
ginjalku berdarah, kenapa paru-paruku basah, gue ga tau..!!! gue ga tau
kenapa! Dan yang paling gue sebelin yah, baju mereka tuh ada yang
belahan dadanya sampai sini (sambil menunjukkan bagian bawah dada), ada
yang udah lihat video klipnya ga? kenapa hatiku cenat-cenut, belahan
dadanya sampai sini. Lo mau nyanyi apa “menyusui” sebenarnya ga tau! ……
Banyak band indonesia yang gue ga ngerti nama bandnya juga udah
aneh-aneh. Ada nama band indonesia yang namanya Hijau Daun, ada band
jazz lain yang namanya Klorofil. Mungkin mereka manggung satu panggung
jadinya Oksigen. Lihat!!! Mereka berfotosintesis!”


      Premis-premis yang tersusun diatas
mampu menciptakan gelak tawa penonton yang melihatnya. Secara
pragmatik, premis diatas merupakan bentuk humor yang tercipta karena
penggunaan fenomena bahasa sesuai dengan situasi kondisi namun saling
bertentangan dengan kelaziman fungsi yang terkandung didalamnya. Bagian
pertama ketika Raditya Dika menciptakan humor lewat candaan lirik lagu
smash. Disana lirik lagunya berisi “kenapa hatiku cenat-cenut tiap ada
kamu”, dipelesetkan oleh dika dengan menduga personil smash ini terkena
penyakit hepatitis dikarenakan hatinya sering cenat-cenut. Konteks ini
tentu sudah berbeda. Lirik lagu smash tersebut bukanlah mengacu kepada
sebuah penyakit, namun oleh Dika dihubungkan dengan konteks penyakit,
karena masih adanya persinggungan makna antara kata yang digunakan,
yakni cenat-cenut di hati, lantas penyakit yang sering timbul di bagian
hati adalah hepatitis. Maka, terciptalah humor. Kualitas humor kemudian
dinaikkan ketika ia memberi pernyataan atas tanggapan lirik tersebut
dengan “kenapa ginjalku berdarah? kenapa paru-paruku basah?” dua
pertanyaan ini masih memiliki hubungan dengan premis awal dan berfungsi
untuk menambah rasa humor dari presmis yang ia gunakan.


      Premis berikutnya adalah baju.
Dika menyinggung personil smash yang suka berpakaian dengan belahan dada
yang terbuka lebar sehingga menampakkan belahan dada. Ia kemudian
menghubungkan konteks ini dengan menyusui, karena biasanya ibu yang
menyusui membuka salah satu bagian dada pakaian mereka agar dapat
menyusui anaknya. Permainan pragmatis kembali digunakan dika disini,
dimana konteks trend pakaian personil smash dan kebiasaan ibu menyusui
yang memberlakukan pakaian mereka ketika menyusui didudukkan dalam satu
wilayah makna pragmatis yang sama.


      Premis berikutnya adalah nama
kelompok musik. Dika menekankan lagi permainan semantik (makna) disini,
ketika ia menyebutkan ada band yang bernama Hijau Daun, disisi lain ada
band yang bernama Klorofil. Kedua nama band ini berhubungan dengan ilmu
biologi. Kemudian ia mempelesetkannya dengan proses fotosintesis yang
mungkin muncul jika kedua band ini manggung bersama. Seperti diketahui
bahwa proses fotosintesis terbentuk dikarenakan adanya proses yang
dibentuk oleh cahaya matahari dengan air dan karbondioksida yang
kemudian membentuk klorofil dan energi. Nah, proses ini yang kemudian
disamakan Dika dengan kedua kelompok musik ini jika seandainya kedua
band ini manggung bersama di satu panggung dan kemudian akan terjadi
proses fotosintesis. Kelucuan muncul karena makna pragmatis premis
tersebut tidak mungkin terjadi, namun karena memiliki kesamaan dalam
nama maka ia membuatnya seolah menjadi mungkin. Sehingga terjadilah
kelucuan.

  Semua jenis humor yang sering
dilontarkan para komedian, comic, pembaca berita atau bahkan sahabat
anda ketika berhasil membuat tertawa para pendengarnya diakibatkan oleh
humor yang terbentuk sebagai akibat pelesetan fungsi bahasa. Permainan
kata dan bahasa yang tidak lazim mampu menciptakan situasi yang
mengundang gelak tawa karena ketidaksesuaian konten yang dibicarakan
terhadap apa yang biasanya terjadi dalam fenomena kehidupan sehari-hari.
Semakin jelaslah kiranya besarnya fungsi bahasa dalam kehidupan
sehari-hari. Bisa dibayangkan bagaimana seandainya bahasa tidak pernah
ada, apakah kita masih mengenal tertawa? masih adakah esensi hidup jika
bahasa tak pernah ada?
“Gott gab uns die Sprache, damit wir aneinander vorbeireden koennen.”
  (Tuhan memberi kita bahasa agar kita dapat berbicara satu sama lain)



.........salam comic.............

About TYsan Setyawan

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Post a Comment

"Semua umpan balik saya hargai dan saya akan membalas pertanyaan yang menyangkut artikel di Blog ini sesegera mungkin".


1. Komentar SPAM akan dihapus segera setelah saya review
2. Budayakan Sopan dalam berbicara
3. Jangan menyisipkan link aktif di komentar
4. Berkomentarlah yang kiranya bermanfaat untuk pembaca
5. Jika Sobat memiliki masalah komentarlah atau cek dulu komentar, mungkin Sobat akan menemukan solusi di sana.
6. Jika Ingin Meng-Copy artikel di blog ini, silahkan cantumkan sumbernya untuk menghargai pembuat artikel.


Top